Sabtu, 22 Januari 2011

Sejarah Pela Gandong



PELA GANDONG
Oleh :

Ode Riswanto
( Putra Pelita Jaya )

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar belakang
Ada satu kultur khas di ranah Maluku, khususnya di Maluku Tengah yang tidak dapat dijumpai di belahan bumi Indonesia lainnya. Kultur tersebut dikenal dengan sebutan pela gandong. Pela Gandong ini kerap menjadi kebanggaan masyarakat Maluku sejak dulu hingga sekarang. Pela diartikan sebagai suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain, bahkan terkadang menganut agama yang berbeda. Gandong sendiri bermakna adik. Perjanjian ini kemudian diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah berlangsung, campuran soppi (tuak) dan darah yang diambil dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pihak yang bersangkutan setelah senjata dan alat-alat tajam lain dicelupkan ke dalamnya.
Ada empat hal pokok yang mendasari pela gandong yaitu: negeri-negeri yang berpela berkewajiban untuk saling membantu pada kejadian genting (perang, bencana alam). Apabika diminta, maka negeri yang satu wajib memberikan bantuan kepada negeri lain,  misalnya hendak melaksanakan proyek kepentingan umum seperti pembangunan sekolah, masjid, atau gereja. Apabila seseorang sedang mengunjungi negeri yang berpela itu, maka orang-orang di negeri itu wajib untuk memberi makanan kepadanya dan tamu yang sepela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang hasil bumi atau buah-buahan yang menjadi kesukaannya, karena penduduk negeri-negeri yang berhubungan pela itu dianggap sedarah, maka dua orang yang sepela tersebut dilarang untuk menikah.



Bagi orang-orang yang melanggar segala ketentuan tersebut, konon katanya akan mendapatkan hukuman dari nenek moyang yang mengikrarkan pela. Sebagai contoh, seseorang ataupun keturunannya dapat jatuh sakit atau bahkan meninggal bila melanggar ketentuan itu. Jika ada yang melanggar pantangan untuk menikah, maka mereka akan ditangkap untuk kemudian disuruh berjalan mengelilingi negeri-negerinya dengan hanya berpakaian daun-daun kelapa, sedangkan seluruh penghuni negeri akan mencaci makinya.

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan maslah pada makalah ini adalah.
1.      Kapan munculnya Pela Gandong di Maluku?
2.      Apa manfaat dari Pela Gandong di Maluku?

C.    Tujuan.
Adapun tujuan yang di capai dalam rumusan masalah adalah:
1.      Mengetahui sejarah Pela Gandong di Maluku.
2.      Mengetahui manfaat dari Pela Gandong di Maluku.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Pendapat para ahli
1.              Dr. Dieter Bartels
Karangan ini adalah berdasarkan penelitian anthropologis jang dilaksanakan oleh penulis selama tahun 1974-75 di Maluku sendiri dan bertolak djuga pada penemuan-penemuan dalam penelitian jang sedang berlangsung tentang adat Maluku dan kebiasaan hidup kaum Maluku di Negeri Belanda. Djikalau kita mentjari uraian terperintji tentang sistem pela, bandinghanlah Dr. Dieter Bartels, Guarding the Invisible Mountain: Intervillage Alliances, Religious Syncretism and Ethnic Identity among Ambonese Christians and Mosleims in the Moluccas. (1977).
Pada suatu ketika, lambat atau segera kedengaran istilah hubungan pela dalam percakapan dangan orang-orang Maluku, dan titak jarang pembicara Malukku menganggap bahwa semua orang lain tahu menahu tentang pela itu. Seolah-olah dengan tiada sadar pembicara itu mempunyai anggapan yang sedemikian itu, karena hubungan pela itu merupakan perkara penting dalam masjarakatnja.
Tegal itu dengan muda terlupakan olehnja bahwa orang bukanmuluku tjuma paham sedikit atau sama sekali tidak tahu menahu tentang pokok itu. Nah, djikalau saudara pembaca tidal tahu banjak tentang pela itu dan mempunjai interese terhadap pokok itu, silakan landjutkanllah pembatjaan ini. Pada halaman berikut ini saja hendak berusaha untuk memberi suatu ichtisar singkat tentang lembaga sosial maluku jang sangat menarik ini.

2.              Syarafudin Pattisahusiwa
Julukan Seribu Pulau yang disandang oleh Maluku adalah suatu kepatutan, selain sebagai provinsi kepulauan juga terpendam di dalamnya seribu pesona dan beragam adat istiadat, budaya dan 117-130 bahasa lokal dari suku-suku maupun sub-suku yang ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi cultural, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai modal dasar kebersamaan dan persaudaraan dalam menciptakan perdamaian  di Maluku, diantaranya adalah Pela-Gandong.
Pela merupakan suatu relasi perjanjian antara satu negeri dengan negeri lain baik yang terjalin antara negeri-negeri sedaratan dan berlainan pulau, juga antara etnis dan agama yang berbeda. Hubungan Pela ini mempunyai efek yang sangat penting dimana semua masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan dan menjaga hubungan tersebut.
Sebagai suatu system hubungan perjanjian atau sekutu, hubungan Pela ini telah ada sebelum bangsa Eropa mendaratkan kaki di Maluku. Hubungan ini kemudian dipererat kembali pada abad ke-16 dan 17 dalam rangka memperkuat pertahanan daerah atas serangan-serangan yang dilancarakan oleh bangsa Portugis dan Belanda. Sejak saat itu, bermunculan banyaknya Pela baru untuk melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan perang Pattimura pada awal abad ke-19, dan hingga kini Pela-pela itu masih berada dan dan tetap dipertahankan.

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Sejarah pela gandong
Ada satu kultur khas di ranah Maluku, khususnya di Maluku Tengah, yang tidak dapat dijumpai di belahan bumi Indonesia lainnya. Kultur tersebut dikenal dengan sebutan pela gandong. Pela gandong ini kerap menjadi kebanggaan masyarakat Maluku sejak dulu hingga sekarang. Pela diartikan sebagai suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama yang berbeda, sedangkan gandong sendiri bermakna adik. Perjanjian ini kemudian diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah berlangsung, campuran soppi (tuak) dan darah yang diambil dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pihak yang bersangkutan setelah senjata dan alat-alat tajam lain dicelupkan ke dalamnya.
Adapun empat hal pokok yang mendasari pela yaitu: negeri-negeri yang berpela berkewajiban untuk saling membantu pada kejadian genting (perang, bencana alam). Apabila diminta, maka negeri yang satu wajib memberikan bantuan kepada negeri lain yang hendak melaksanakan proyek kepentingan umum, seperti pembangunan sekolah, masjid, atau gereja. Apabila seseorang sedang mengunjungi negeri yang berpela itu, maka orang-orang di negeri itu wajib untuk memberi makanan kepadanya dan tamu yang sepela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang hasil bumi atau buah-buahan yang menjadi kesukaannya; karena penduduk negeri-negeri yang berhubungan pela itu dianggap sedarah, maka dua orang yang sepela tersebut dilarang untuk menikah.
Bagi orang-orang yang melanggar segala ketentuan tersebut, konon katanya akan mendapatkan hukuman dari nenek moyang yang mengikrarkan pela. Sebagai contoh, seseorang ataupun keturunannya dapat jatuh sakit atau bahkan meninggal bila melanggar ketentuan itu. Jika ada yang melanggar pantangan untuk menikah, maka mereka akan ditangkap untuk kemudian disuruh berjalan mengelilingi negeri-negerinya dengan hanya berpakaian daun-daun kelapa, sedangkan seluruh penghuni negeri akan mencaci makinya.
Ada beberapa alasan mengapa pela gandong ini cukup kental di Maluku Tengah. Dari segi antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar yaitu pulau Seram dan pulau Buru, kemudian bermigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease/Uliaser (pulau Haruku, pulau Saparua, dan pulau Nusalaut) dan pulau Ambon . Migrasi ini kemudian memberi dampak terhadap terjadinya asimilasi kebudayaan baru (kebudayaan Seram) yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya yaitu kebudayaan Melanesia, Melayu, Ternate , dan Tidore.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah Maluku Tengah memiliki satu kebudayaan yang sama. Kemudian, jika ditelusuri dari segi historisnya, para migran yang kebanyakan berdiam di pegunungan ini lantas dipindahkan ke pesisir pantai oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka pengawasan. Bukan hanya itu, Belanda juga mengganti nama komunitas-komunitas migran yang disebut Hena atau Aman, dengan istilah Negeri. Struktur pemerintahan di dalam Negeri diatur menyerupai struktur pemerintahan di Belanda. Dengan struktur pemerintahan tersebut, maka negeri-negeri menjadi ”negara-negara” kecil dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh raja yang diangkat dari marga-marga tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri dibagi-bagi untuk seluruh marga dalam komunitas negeri.
Dalam perkembangannya secara sosio-historis, negeri-negeri ini kemudian mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Anak Negeri Salam dan Anak Negeri Sarani. Anak Negeri Salam adalah penduduk yang beragama Islam dan Anak Negeri Sarani adalah penduduk yang beragama Kristen. Laki-laki yang beragama Islam biasa dipanggil dengan sebutan ‘abang’ dan perempuannya dipanggil caca, sedangkan laki-laki yang beragama Kristen dipanggil dengan sebutan budan perempuannya dipanggil usi. Kultur seperti ini memperlihatkan adanya suatu kecenderungan yang akan mengentalkan solidaritas kelompok, tetapi pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah pela gandong sebagai suatu pola manajemen konflik tradisional guna mengatasi kerentanan konflik.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa pela gandong sebetulnya bukan merupakan suatu kultur lokal penduduk Maluku sendiri, melainkan suatu produk hasil asimilasi kebudayaan di Maluku Tengah. Peran pemerintah kolonial Belanda juga cukup besar dalam pengembangan pela gandong ini sehingga banyak yang mengatakan bahwa kultur ini hanyalah bentuk rekayasa mereka pada saat ingin menguasai rempah-rempah di tanah Maluku. Hal ini cukup beralasan bila ditelusuri lebih jauh lagi dari segi historis. Menurut sejarah awalnya, Maluku merupakan sebuah jasirah dengan hasil alam yang berlimpah ruah dan berpenduduk mayoritas Muslim. Pada saat Belanda menginvasi Maluku, umat Muslim di tanah ini lantas menentang dengan keras.
Perlawanan bersenjata kemudian dilancarkan oleh raja-raja dan sultan-sultan yang berada di Maluku, antara lain Raja Leihitu, Raja Leitimu, Sultan Ternate, Sultan Tidore, Sultan Khairun, Sultan Baabullah, dan lain-lain. Karena adanya perlawanan yang sengit ini, maka Belanda mulai melancarkan politik “Devide et Impera” atau politik pecah belah. Belanda sendiri masuk ke Maluku dengan membawa tiga misi, yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Gold adalah misi Belanda untuk mengambil seluruh kekayaan alam di Maluku, Glory untuk mendapatkan kemuliaan di mata masyarakat di Eropa, dan Gospel membawa misi Kristen dengan iming-iming materi.
Misi yang terakhir ini berhasil menyebabkan masyarakat Maluku yang awalnya mayoritas Muslim menjadi terpengaruh dan kemudian terpecah dua : Muslim dan Kristen (Anak Negeri Salam dan Anak Negeri Sarani). Karena adanya sentimen kelompok, maka perkelahian antara Negeri Muslim dan Negeri Kristen pun kerap terjadi. Agar dapat diterima oleh seluruh komunitas masyarakat Maluku, maka pemerintah Belanda pun mulai mengembangkan kultur pela gandong. Untuk memperluas jajahannya, Belanda kemudian mempengaruhi masyarakat Maluku yang pro kepadanya untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan jalan membentuk pela gandong dengan daerah baru yang Muslim.
Namun, terlepas dari kesemuanya itu, di tengah beragamnya komunitas yang berada di Maluku dan potensi konflik di dalamnya saat ini, tampaknya pela gandong cukup dapat berperan sebagai peredam yang mampu meminimalisir gejolak sosial bernuansa primordial. Sentimen antar kelompok dapat tereliminasi dengan kearifan budaya dan kepentingan ekonomi yang substitusional sehingga tidak terjadi suatu konflik sosial.

B.     Manfaat membangun perdamaian melalui Pela Gandong
Julukan Seribu Pulau yang disandang oleh Maluku adalah suatu kepatutan, selain sebagai provinsi kepulauan juga terpendam di dalamnya seribu pesona dan beragam adat istiadat, budaya dan 117-130 bahasa lokal dari suku-suku maupun sub-suku yang ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi cultural, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai modal dasar kebersamaan dan persaudaraan dalam menciptakan perdamaian  di Maluku, diantaranya adalah Pela-Gandong.
Pela merupakan suatu relasi perjanjian antara satu negeri dengan negeri lain baik yang terjalin antara negeri-negeri sedaratan dan berlainan pulau, juga antara etnis dan agama yang berbeda. Hubungan Pela ini mempunyai efek yang sangat penting dimana semua masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan dan menjaga hubungan tersebut.
Sebagai suatu system hubungan perjanjian atau sekutu, hubungan Pela ini telah ada sebelum bangsa Eropa mendaratkan kaki di Maluku. Hubungan ini kemudian dipererat kembali pada abad ke-16 dan 17 dalam rangka memperkuat pertahanan daerah atas serangan-serangan yang dilancarakan oleh bangsa Portugis dan Belanda. Sejak saat itu, bermunculan banyaknya Pela baru untuk melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan perang Pattimura pada awal abad ke-19, dan hingga kini Pela-pela itu masih berada dan dan tetap dipertahankan.


Pada dasaranya, terdapat tiga jenis Pela yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Pela Keras. Timbulnya Pela ini dilatar belakangi oleh suatu kejadian atau peristiwa yang sangat penting untuk melawan peperangan atau pertumpahan darah. Atau pula berbentuk bantuan khusus dari suatu negeri kepada negeri lain.
  2. Pela Gandong atau Bungso yang timbul karena adanya ikatan dan hubungan keturunan, artinya diantara pemimpin/raja satu negeri dan negeri lainnya memiliki hubungan keturunan, ataupun diantara beberapa keluarga di satu negeri dan di negeri lain menganggap diri mereka sebagai satu garis keturunan.
  3. Pela Tempat Sirih, timbulnya pela ini setelah terjadinya suatu peristiwa yang kurang begitu penting, atau karena suatu negeri berjasa terhadap negeri lain dalam hal perdagangan maupun perdamaian.
Pela Keras dan Pela Gandong memiliki kekuatan yang sama kuat karena perjanjian ini ditetapkan dengan sumpah disertai kutukan dahsyat yang pasti dan akan tertimpa oleh salah satu pihak yang melanggar perjanjian tersebut. Terkadang perjanjian/mengangkat sumpah itu dilakukan dengan cara memateraikan dan mengambil darah dari tubuh pemimpin kedua belah fihak kemudian meminumnya. Hubungan Pela ini dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua masyarakat kedua negeri yang berlangsung terus-menerus dan dijunjung tinggi sebagai suatu perjanjian suci.  Adapun hal-hal asasi yang menjadi ikatan dari perjanjian Pela ini adalah :
  1. Kewajiban setiap negeri yang ber-Pela untuk saling membantu pada saat genting dan mendesak, misalnya; bencana alam dan peperangan.
  2. Jika diminta bantuan demi kepentingan kesejahteraan umum, maka negeri yang menjadi Pela wajib memberi bantuan kepada negeri yang membutuhkan, misalnya; pembangunan rumah, sekolah dan tempat-tempat beribadah.
  3. Apabila seseorang dari negeri Pela berkunjung, maka negeri yang menjadi Pela harus melayani dan memberi makan kepadanya dan ia tidak perlu untuk meminta izin membawa pulang makanan dan buah-buahan.
  4. Semua penduduk negeri yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah sehingga tidak diperbolehkan untuk kawin, kecuali pada Pela Tempat Sirih.
System Pela ini masih berlaku di beberapa daerah/negeri di Maluku karena rasa persatuan dan identitas bersama yang disadari dan dihayati serta diwariskan secara turun-temurun sebagai suatu perjanjian suci yang harus terus dilestarikan dalam menciptakan perdamaian di Maluku. Berkat system Pela ini, pertentangan maupun konflik antar agama semakin dapat diminimalkan.
Sejarah telah mencatat bahwa sebelum konflik agama yang terjadi di Maluku beberapa tahun silam, kerukunan antara umat beragama sangatlah kental, terlihat dari banyaknya pembangunan mesjid, gereja dan sekolah dibangun karena mendapat bantuan dari negeri Pela, baik berupa bantuan tenaga kerja, bahan bangunan, uang ataupun makanan bagi pekerja sehingga pembangunan itu dapat berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Dan pada saat konflik terjadi, negeri-negeri yang ber-Pela seperti; negeri Siri-Sori Islam dan negeri Haria atau anatara negeri Laha dan negeri Amahusu tidak menganggapnya sebagai suatu konflik dan tidak akan melanggar perjanjian para leluhur.
Untuk tetap menjaga dan menciptakan perdamaian di Maluku, maka budaya Pela-Gandong ini senantiasa dilestarikan dengan cara menyadarkan dan menghidupkannya kembali melalui generasi muda melalui bantuan dari orang tua maupun pemerintah daerah untuk menseport dan merespon segala kegiatan maupun upacara-upacara adat diantara Pela-gandong yang ada di negeri seribu pulau ini.

BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pada dasarnya tiga jenis pela dapat ditetapkan, yakni: (1) pela karas; (2) pela gandong atau bungso; (3) pela tempat sirih. Pela keras itu timbul karena terdjadinja suatu peristiwa jang sangat penting, biasanja sehubungan dengan peperangan seperti pentjurahan darah, peperangan jang tak membawa penentuan (tiada jang kalah, tiada jang menang), atau bantuan chusus dariipada satu negeri kepada negeri lain. Pela jenis kedua (pela gandong atau bungso) dalah berdasarkan ikatan turunan, artinja, satu atau lebih banjak mata rumah dalam negeri-negeri jang berpela itu, menganggap diri sebangi satu turunan, hal mana di-alihkan kepada negeri-negeri seluruhnya, ketika penjajahan pela diadakan. Pela tempat sirih itu diadakan setelah suatu peristiwa jang tidak begitu penting berlangsung, misalnya: memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden ketjil atau setelah satu negeri adalah berdjasa terhadap lain negeeri. Pela jenis ketiga ini djuga ditetapkan untuk memperlantjar hubungan perdagangan.
Dalam segala hal fungsi pela keras dan pela gandong’bungso adalah sama. Kedua-duanya ditetapkan oleh sumpah keras jang disertai kutuk dahsjat jang akan kena siapa sadja jang melanggar perdjandjian itu. Suatu tjampuran tuak dan darah jang diambil dari tubuh pemimpin kedua fihak itu, dimimum kedua fihak itu setelah senjata-senjata dan alat-alat tajam lain dicelupkan didalamnya. Alat-alat itu hendak melawan dan membunuh setiap orang siapapun djuga.
2.      Peran pokok dalam mengembangkan serta mempertahankan identitas etnis jang bersama itu seharusnja ditjari dalam sistem hubungan sosial jang disebut pela; lembaga chas Maluku jang maha penting ini mengikat hubungan diluar negerinja sendiri. Pela itu merupakan suatu relasi perdjandjian dengan satu atau lebih negeri lain jang sering berada di pulau lain dan kadang djuga menganut agama lain. Sekalipun tiap2 negeri hanja mempunjai satu atau dua pela sadja, namun effek menjeluruh daripada djaringan pela2 jang padat dan berselang seling itu adalah demikian penting, sehingga semua penduduk Maluku Tengah turut serta dalam filsafah pela itu dan dengan demikian turut serta dalam penghajatan kebersamaan itu.
Asal usul daripada pela harus ditjari pada masa lampau jang djauh2, djauh sebelum orang Eropah mendarat di pulau rempah-rempah ingin mendapatkan cengkeh dan pala. Barangkali pela sebagai sistem perhubungan perdjandjian perdjandjian itu lahir dalam rangka masyarakat yang biasa memenggal kepala musuh (potong kepala), akan tetapi pada zaman penjerbuan Portugis dan Belanda pada abad ke 16 dan ke 17, sistem pela itu dipakai untuk mempeerkuat pertahanan terhadap penjerbu2 asing dan untuk saling menolong pada saat-saat genting itu.
Menurut kenjataan tjukup banjak pela jang masih bertahan sampai hari ini di-mulai pada zaman itu, dengan mengikat negeri-negeri islam dan negeri-negeri kristen (yang baru saja pindah agama) satu dengan jang lain. Banyak pela baru pula muntjul selama peperangan hebat melawan pendjadjahan belanda, jang disebut Perang Pattimura pada awal abad ke 19. Ketika tanah Maluku mengalami kesusahan ekonomis setelah kalah dalam peperangan itu, pela tiu dimanfaatkan sebagai djalan untuk mendapatkan makanan; untuk itu banjak negeri jang susah makanan di Ambon-Lease mengikat hubungan dengan negeri2 di Seram jang berlimpah sagu. Dewasa ini pela itu berkembang chususnja selaku kenjataan identitas Maluku ditengah2 keselurahan negara Indonesia dan djuga sebagai alat untuk memadjukan pengembangan dan pembangunan negeri dengan tiada bantuan pemerintah.

B.     Saran
Makalah ini Merupakan salah satu tugas yang di buat untuk melengakapi tugas apabilah ada hal-hal yang kurang, penulis mohon masukan agar dapat menyempurnakan tulisan-tulisan yang akan di tulis pada makalah lainnya.




DAFTAR PUSTAKA


  1. http://drosalina.blogspot.com, tanggal 16 desember 2010.
  2. http://www.google.com, Pela gandong, tgl 16 Desember 2010.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar